Belangau, air sungai seperti payau. Tak lagi memukau. Semua kini tak lagi kokoh berdiri. Lamat-lamat mati. Dan kampung ini, entah-berantah masih akan jadi. Entahlah. Sejak rubuh markas siamang di seberang sana. Sejak ditebas habis umbut dan pakis. Dan sarang mereka luluh lantak sudah. Bubut utan tinggal nama. Karena bubut utan tak lagi tinggal di hutan. Tapi bertengger pada dedahanan yang tak nyaman. Dan sejak itu, mereka kian menebar suara.
Tertunduk laksana raja. Kepala adat telah lalu di depan rumah. Para petuah dan pemuka turut andil di belakangnya. Hasil rapat sengketa memutuskan tanah seberang akan dijual pada perusahaan kayu dengan nominal angka ditetapkan. Seluruh pemuka telah setuju. Kepala adat berseru. Semua patuh, kecuali satu. Pun, saat tanah anak cucu telah dijajah. Lambat laun hanya tinggal ampas saja. Lantas timbul pertanyaan.
‘’Usai ini, ke manakah kami tinggal?’’
Mak Jang menatap para petinggi yang lalu laksana arak-arakan pengantin. Seumpama pengantin akan disambut dengan tepung tawar. Jika diperkenankan, barangkali kayu lesung dalam genggamannya yang akan melayang. Saking sakit hatinya dia, perempuan bersongkok kuning itu memperbaiki kain sarungnya. Dihentikannya pekerjaan sesaat, lalu duduk di tangga rumah panggung. Menonton arak-arakan pengantin baru yang mendapat durian runtuh itu. Amarah menyala di matanya.
Kau tunggu masa. Akan hancur engkau beserta pesuruh-pesuruhmu. Kepala adat tak sadarkan tabiat. Ia terus saja melempar senyum pada orang-orang kampung. Langkahnya tiba-tiba berhenti. Matanya mengekor dara jelita usai belanja. Dara itu tersenyum, menghampiri Mak Jang. Kepala adat menarik nafas panjang. Dibuangnya perlahan. Bukan sembarang jelita. Gadis itu anak perempuan tua-bangka yang tak turut perintah.
Tak kan ia izinkan untuk mempersunting putrinya. Apalagi untuk yang ke-3. Mustahil! Lantas, adakah kemungkinan?
***
Rumah panggung hanya diterangi cahaya lampu togok. Ada Wak Atan yang termenung lugu seraya bertopang dagu tepat di muka pintu. Rambutnya mulai sula. Perasaan yang gamang. Serasa bermain gasing. Pikirannya berputar-putar tiada henti. Matanya tertuju pada bulan melingkar terang. Seperti kehidupan yang akan terus berlanjut sampai hayat menemui akhir. Dan sampai itu benar-benar terjadi.
‘’Aku bukan Datuk Maringgi Wak! Namun, ingat kataku. Harta, tahta bisa kau cari. Tapi, keluarga adalah intan berharga!’’ Kata-kata itu terekam jelas di telingaku. Harus dengan apa aku menghilangkannya. Anehnya! Semakin aku menutup kedua telinga ini semakin aku sadar. Aku tak berani memilih. Bukan hanya persoalan harta. Tapi, di hutan kecil itulah aku menemukannya. Di tanah yang sekian hasta itu, aku mendapatkannya. Lantas, bagaimana aku membujuk anakku. Terutama, istriku. Apa yang harus aku lakukan?
Petang itu aku menyisir sungai. Sampai sampanku tertumbuk pada kayu-kayu. Aku memasukkan dayung dan berhenti mengayuh. Berhenti tepat di tanah seberang. Tempat aku dulu pernah bertandang beberapa waktu. Aku menelusuri semak belukar. Ilalang dan tumbuhan hutan. Suara siamang bersaut-sautan. Makin jauh. Makin ke dalam hutan. Sampai malam bertandang, aku masih berputar-putar. Barangkali di tempat yang sama. Hanya saja aku tak menyadarinya. Lalu tiba-tiba. Ada cahaya kecil yang kian mendekat. Membuat nyawaku hampir tercekat. Cahaya itu kian terang dan menyapu semua yang ia lewati. Terus dan terus. Sampai mataku tak bisa lagi melihat ke sekeliling. Semua tiba-tiba menyilaukan.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Sebuah istana megah berdiri. Aku tak tahu di mana aku berada. Namun, yang jelas banyak prajurit berpakaian yang aku sendiri asing melihatnya. Dan ada beberapa dayang. Yang mengibas-ngibaskan kipas berukir besar pada seorang yang duduk di sana. Lantas, seorang ratu? Barangkali. Elok duduk di singasana.
‘’Aku tahu apa hal yang membawa kau datang ke istanaku,’’ katanya membahana. Aku beringsut perlahan dari tempatku tersipu.
‘’Jika kau inginkan budak turunan. Maka, lepas ini akan ada yang kuberi. Bawalah. Dan berikan itu pada istrimu.’’ Aku menatap heran. Bagaimana jelita ini tahu maksudku. Benarkah itu? Aku akan mendapatkan keturunan setelah sekian lama bungkam dari harapan yang tak tersampaikan. Lantas tiba-tiba cahaya itu berpendar satu-satu. Lalu, menyusut. Jauh dan terus menjauh. Hingga tubuhku seperti ditarik daya luar biasa. Bergumul bersama burung-burung berbulu hitam dengan warna kemerahan di dada. Dan aku terhempas ke atas bumi. Bersamaan telur putih bersih yang terletak baik di atas dadaku. Inikah yang jelita itu maksud? Aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan? Anak.
Burung berkoak-koak. Aku tersentak. Langit merah saga membayang di atas air. Sebelum azan berkumandang aku sudah harus pulang. Pulang ke rumahku, dan meninggalkan masa lalu dari balik punggung waktu. Walau mungkin terlambat karena telur yang kudapat itu kini telah menetas dan menjelma menjadi dara yang tak kalah jelita dan elok parasnya. Lantas, masih bisakah aku pulang ke rumah Sang Pemilik Hayatku?
***
Jika ada orang mengatakan prejudice Melayu pemalas. Maka, aku adalah orang pertama yang akan menentangnya. Namun, tiba-tiba aku menjadi surut melihat yang terjadi di hadapanku. Orang-orang kampung sini berbondong-bondong menjual tanah mereka pada perusahaan yang telah menjanjikan sejumlah uang dengan angka yang fantastis. Mereka tak lagi menebar jala seperti biasa. Atau, mencari pakis dan umbut untuk dijual ke pasar mingguan. Juga tak lagi memasang bubu untuk menjerat ikan. Mereka lebih memilih berleha-leha sembari menggoyang kaki dan berbantal lengan di rumah yang barangkali tak lama lagi bukan milik mereka. Ya. Setapak demi setapak. Sejengkal demi sejengkal. Tanah di kampung ini tak lagi milik kami. Jika benar kita sudah merdeka. Lantas, salahkah aku merasa sedang dijajah di tanah sendiri? Menumpang di tanah sendiri. Bukankah itu hal yang janggal? Namun, apa yang bisa kuperbuat. Aku hanya gadis desa yang sok tahu dan sebenarnya tidak tahu apa-apa. Barangkali! Tapi, tidak dengan Mak. Mak adalah satu dari sekian orang yang paling menentang keputusan kepala adat. Keputusan untuk menjual tanah dan menghasut warga. Teringat saat Mak berapi-api menjawab tiap kata dengan tandas.
‘’Apa pun yang terjadi. Aku tak akan menjual tanahku. Bahkan sejengkal pun padamu!’’ tandasnya. Riuh rendah. Suara rapat sengeketa tanah. Banyak kubu berbeda. Banyak yang setia pada kepala adat. Dan hanya satu dari segelintir yang banyak itu menolak, dia adalah Mak. Perempuan itu bersikeras pada hajatnya. Tak akan dia jual tanah nenek-moyang kami. Takkan dijualnya tanah pusaka. Mendengar itu, kepala adat hanya tersenyum picik di balik cawan dalam genggamannya. Aku melirik. Bedebah. Ia menangkap pandanganku. Ini yang paling kutakutkan. Kudengar ia menaruh hati padaku. Bukannya aku tak sudi. Tapi kalau untuk menjadi yang ketiga lebih baik tak usah. Karena aku tahu betul, ia bukanlah pemimpin yang adil. Jangankan untuk memimpin keluarga dan negeri ini, memimpin dirinya sendiri belum tentu ia mampu. Aku memalingkan wajah. Dan sejak malam itu, perseteruan tanah seberang makin berdendang. Seperti dendangan bubut utan yang seolah tahu, tempat mereka terancam.
Burung-burung itu terbang mengitari awan. Merayap rendah pada dahan. Mengeluarkan suara seram. Bubut berdendang. Emak berdehem. Meracik sirih dengan bubuk kapur. Mengunyah sekenanya.
‘’Bubut dah berbunyi,’’ katanya acuh.
Aku mengernyit alis. Seraya menumbuk padi di lesung.
‘’Tu, apa pasal Mak?’’
‘’Petuah dulu. Kalau bubut dah bunyi akan ada yang umur pendek.’’
Aku menoleh sesaat. Apa ajal seseorang bisa diukur dengan itu. Ah! Rasanya suatu hal yang tak mungkin. Bukankah hal yang paling rahasia yang tidak diketahui manusia adalah jodoh, amal dan hidup mati seseorang. Aku hanya diam dan kembali meletakkan ikan salai ke dalam keranjang. Namun, tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Dan berharap sebuah keinginan yang sebenarnya tak baik jika kuutarakan. Semoga saja ini pertanda kematian untuknya; Kepala adat!!!
Dendangan jangkrik memecah kesunyian malam ini. Lelaki legam dan sula masih bungkam di sumpal cerutu. Berbantal lengan dan mata membatu.
‘’Semua orang sudah ambil cap jari,’’ kata Mak Jang. Wak Atan masih diam. Asap yang menyembul mengumpul dan membuat bulatan-bulatan kecil dari hidungnya.
‘’Aku masih bersikeras pada pendirianku. Tanah di seberang sana. Tak akan aku menjualnya,’’ tandas Mak Jang. Diraihnya buah pinang. Dan membuka serabut kulitnya. Dibelahnya kecil-kecil, lalu dilemparkan ke dalam mulut. Gemeretak giginya walau tak sekuat dulu. Setidaknya ia masih bisa merasakan rasa pahit yang khas. Namun, ada kenikmatan tersendiri saat liur membaur kala buah pinang dikunyah. Nikmatnya hingga tak sadarkan lelaki legam telah tertidur berbantal lengan.
Jelang seperempat malam. Remang cahaya lampu togok. Membayang di alam mimpi. Wak Atan terlelap dengan nyala api yang berkibar sekenanya. Lalu, bayang itu menyeringai menyerupai seekor burung. Burung berbulu hitam dengan warna kemerahan di dada. Paruh burung itu terkatup dan ternganga Lantas bergema. Paruhnya mengeluarkan suara.
‘’Dengarlah kau wahai Uwak! Telah kupinta apa yang kuhendak. Karena tak ada balas budi darimu. Tapi, aku akan meminjam sejenak. Dara jelitamu. Lepas itu, ia selamanya akan jadi milikku.’’
Keringat berjungulan di sela-sela pori. Laki-laki legam itu bergidik ngeri. Ada bayangan masa depan kelam di balik tirai kelambu.
Tepat sesaat sebelum azan magrib berkumandang. Perseteruan antara Mak Jang dan kepala adat baru terleraikan. Itu sebab, Wak Atan bimbang. Kehendak istri tak inginkan jual tanah seberang. Atau dara jelita dipersunting untuk yang ketiga. Seperti buah simalakama. Jika ia lepaskan dara, sama artinya ia menjerumuskan putrinya itu ke dalam jurang. Namun, jika ia tak mempertahankan tanah seberang. Teringat mimpi buruknya yang membayang. Dan keputusan telah didapat. Semua di tangan kepala adat. Bahwasanya, selama ia menjabat, takkan ada yang menentang kehendak.
Alhasil, semua lahan telah dibabat habis. Pakis kini meringis. Siamang melolong malang. Dan burung itu. Burung bubut utan. Entah ke mana mereka menumpang dahan. Namun, semakin mereka sering berdendang semakin jelas bahwasanya mereka akan lakukan balasan.
Malam itu. Pikiranku terganggu. Seperti ada sesuatu yang memanggil-mangilku dari seberang sana. Tanah seberang yang kini telah porak-poranda. Kayu, ilalang telah hangus, musnah. Lantas, benarkah ini perasaanku saja. Namun, suara itu kian menggema. Menghentak-hentak dinding telinga. Sampai akhirnya kubuka tingkap kamar. Dan angin malam yang lembut dan dingin membalut. Ada cahaya terang mencuat dari sana. Makin terang dan menyapu segala yang dilewatinya. Selintas, sebelum aku menyipitkan mata, banyak burung yang berterbangan. Sampai seekor burung hitam besar menubrukku hingga terjatuh. Tak sampai pikir rasanya. Tiba-tiba dara jelitaku sendiri yang menyampaikan kegirangan hatinya.
‘’Emak, Abah. Aku terima pinangan kepala adat,’’ katanya seperti tak kupercayai. Ada apa gerangan dengan putri semata wayangku ini? Aku dan Jang saling melempar pandangan. Lalu, seperti tersihir, istriku pun mengamini maksud hati sang putri. Seraya membelai rambut panjangnya.
‘’Kalau itu yang kau inginkan, Mak dan Abah turutkan,’’ aku tersentak. Secepat itukah istriku yang keras, berubah. Ada apa ini? Aku seperti melihat pertunjukan asing di rumahku sendiri. Dan dua wanita yang kucintai itu berlalu. Meninggalkan aku dari balik pintu. Ya. Pintu yang tertutup untuk kami memberi ruang. Sampai masa itu benar-benar datang.
Pesta besar-besaran untuk pernikahan seorang kepala adat. Hidangan jambar berleret di atas rumah panggung yang sudah ditata sedemikian rupa. Gading-gading. Dan pelamin. Dan dua mempelai duduk di sana.
Pesuruh-pesuruh paduka kepala adat berjaga-jaga. Istri pertama dan kedua tak sanggup menatap lama. Dara jelita duduk bak permaisuri istana. Walau batin tak rela. Apa daya upaya mereka tak guna-gana. Kepala adat tak akan dengarkan cakap. Di antara dendangan biduan, sayup-sayup terdengar nyanyian janggal. Nyanyian bubut utan. Lalu tiba-tiba awan menjadi hitam. Lantas, selaksa gerombolan lebah. Burung-burung itu menukik tajam. Mengambrukkan pelamin beserta mempelai. Kepala adat terpental jauh. Semua tamu berlari pergi. Burung-burung memburu mati. Melumatkan kepala adat dengan paruh mereka. Mengerubungi sampai mati. Mematuki brutal. Seperti kehausan pada daging kepala adat. Detik berikutnya hening tak bergeming. Kampung mati. Semua sunyi. Sayup-sayup hanya terdengar sesekali bubut utan berdendang.
Perlahan bulu kudukku merinding. Bukan hanya karena aku tak paham sebab-musabab kududuk di pelamin itu. Tapi juga nyanyian burung ini yang terdengar ngeri. Lantas benarkah kata-kata Emak? Jika bubut sudah berdendang, maka ajal akan menjelang. Kulihat kepala adat tersungkur mencium bumi. Apakah dia mati? Mengapa Emak dan Abah yang menangis darah. Mata sembab dan merah. Apa yang mereka tangiskan? Bukankah aku duduk manis di pelamin itu? Lalu, mengapa aku sekarang terkungkung dalam cengkraman burung-burung ini menuju tanah seberang?***
Catatan:
Bubut utan: burung
Lampu togok: lampu teplok
Sula: botak di bagian kening sampai ke ubun-ubun
Gasing:alat berbentuk kerucut yang terbuat dari kayu. Saat ini, bentuk dan bahan sudah bervariasi, tetapi umumnya memiliki bagian bawah yang runcing
Jatni Azna
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Broadcasting UIN Suska Riau Penikmat sastra dan seni Bergabung di FLP
http://www.sagangonline.com/baca/Cerpen/300/bubut-utan

Tidak ada komentar:
Posting Komentar