http://riaupos.co/2538-spesial-bunian.html
Lihatlah
lelaki itu, tubuhnya tak segagah dulu. Lingkaran hitam di matanya,
kulit rapuhnya, rambut sula-nya. Apa yang terjadi padanya? Setelah
sekian lama kami tak bersua dan ia menghilang entah ke mana. Kini,
setelah ia kembali. Tak ketemui ia adalah suamiku. Tapi, ia adalah suami
wanita lain, suami wanita bunian.
***
Dengung sayup-sayup
suara chinsaw penebang kayu itu bergema memecah kebisuan hutan larangan.
Tak ada pagelaran musik binatang magrib itu. Sedangkan teman si
penebang asyik saja menyumpal sepucuk rokok tembakau di bibirnya.
Sesekali ia melirik ke sekeliling. Pekatnya malam kini merangkak ke
dalam hutan. Berbekal cahaya pelito di susulnya si penebang kayu.
Sudahlah
dulu kawan! Kita selesaikan lagi potongan-potongan kayu ini besok pagi,
baik kita lekas pulang ke bagan, ajaknya. Si penebang kayu bergeming
hanya dijawab hening.
Ayolah! Lekas kita pulang! Tak baik kita terlalu lama di hutan larangan ini!
Kenapa
rupanya? Takutkah kau? Bukannya sejak awal sudah kuperingatkan, kalau
kau ingin ikut kerja denganku, aku tak kenal itu. Tapi, kalau sampai di
sini kau tiba-tiba mengajakku berhenti. maaf-maaf saja aku tak bisa! jawabnya sepele.
Terserah kaulah, aku tak mau tahu! sahut si
kawan. Dibuangnya puntung rokok sembarang digenggamnya erat pelito untuk
menjadi penerang. Ditinggalnya si penebang dengan pekerjaan. Lantas,
beringsutlah ia berjalan pulang. Tak disangka, ada masalah yang ia
tinggalkan di belakang. Masalah yang merubah se isi dunia mereka.
***
Pekik
pingkauku menyambut saat tersiar kabar bahwa hutan larangan seberang
kampung terbakar. Sekarang bukan hanya hutannya. Tapi, seseorang yang
ada di hutan itu adalah suamiku tercinta. Sementara Bakar, kawan suamiku
menebang pulang dengan selamat. Tak ada yang terbawa pulang olehnya.
Selain lusuh baju di badan yang di bawa. Lantas mana suamiku? Aku
menangis mengiba-ngiba. Seluruh kerabat dan sanak saudara kini telah
berkumpul di balai adat untuk membicarakan masalah ini. Sedangkan aku
hanya bisa diam membisu. Serasa bumi menghujamku, menelanku dalam dan
menguburku hidup-hidup.
Mana suamiku? Bisikku lirih. Sedangkan si Bakar melirikku iba dan Datuk menggeleng-geleng tak tega.
Sabar Cung! Ini cobaan untuk engkau! Digenggamnya bahuku erat.
Maaf
Datuk, bukankah kita sudah sepakat. Barang siapa yang menjamah hutan
larangan seberang sana maka ia akan terima bala, celetuk seorang warga.
Aku menatap tajam.
Apa maksudmu? hardikku.
Wajarlah
suamimu dilalap api. Ia tak dengarkan petuah negeri. Bukankah kau tahu,
barang sesiapa yang menebang hutan larangan seberang sana maka akan
menuai celaka.
Tutup mulutmu! Kau buka telinga kau luas-luas!
Kau dengar perkataanku keras-keras! Bisa saja kumaki kau dengan maki
hamunku. Jika kusumpah kau mati diterkam harimau, mati matilah kau!
Bahkan saat ini juga! Tapi, itu urung kulakukan. Karena aku percaya kita
ber-Tuhan. Begitupun suamiku. Bukan karena ia menebang hutan larangan
tetuah kita dulu ia mati tak berbau. Tapi, karena ajal menjemputnya
lebih dulu,
Apa bedanya? Tahu di sana halimunnya bunian, pergi
pula ia ke sarangnya. Jangankan dilalap api, dinikahi peri bunianpun
jadi, sahutnya tak mau kalah. Sebagian tertawa, sebagian iba, sebagian
diam saja. Sedangkan aku, menatap tajam pada lelaki itu.
***
Lelaki itu terlunta-lunta sendiri. Sedari tadi setelah ia tersadar ia masih berputar-putar tak menentu.
Di
mana aku? Pikirku. Bahkan tak kutemukan jalan pulang sedari tadi. Tak
kulihat matahari terbit. Tak tampak olehku bulan sabit. Yang kutemukan
hanya halimun pekat bergumul mengiringi langkahku. Di mana aku? Bahkan
tempat ini sangat asing. Jangankan di kampungku, di alam mimpipun barang
kali aku belum pernah ke mari.
Lantas, kulihat ada aliran
sungai nan permai. Aku bergegas. Barangkali di seberang sana adalah
kampungku. Hutan tempatku menebang sekarang dibelah oleh sungai dalam
dan panjang hingga ke muara Teluk Kosik. Dan di seberang sana pulalah
istriku berada. Walau hanya terbelah sungai saja. Tapi, tetap saja
selama menebang kami tak bersua. Terakhir yang kuingat ia menangis
tersedu melepas kepergianku dengan Bakar. Bakar? Di mana ia? Ia bahkan
tak terlihat batang hidungnya. Apa mungkin perkataanku kala itu
menyinggungnya? Tak kupahamkan segala tegur dengan daya. Tak kusangkakan
segala kalimat jadi nyata. Mungkin saat ini aku sedang memakan karma.
Aku
bergegas menuju sungai. Sangat haus dahagaku. Aku teguk seberapa air
yang sanggup masuk dengan kedua telapak tanganku. Aku basuh mukaku.
Lantas, benar saja saat aku kembali membuka mata. Jika ini karma, bahkan
wanita yang muncul di hadapanku lebih cantik daripada istriku. Ia
benar-benar seperti bidadari. Ia tersenyum menghampiri. Dirangkulnya
pundakku dan kami beranjak pergi. Tak kuasa aku menolak. Tak kuasa aku
kembali. Bahkan untuk menoleh ke belakangpun aku tak sempat. Sekedar
mengucapkan, Selamat tinggal istriku,
Dan semua dibaluti halimun
pekat yang ketat. Aku terbangun dari mimpi burukku. Bang Wan melambaikan
tangan padaku. Namun, mukanya sendu seperti sedang terjadi sesuatu.
Tak kupahamkan apa pesan tersirat dari mimpi ini Datuk, kataku mengadu. Datuk termanggu.
Kalau memang begitu rupanya, katanya datar.
Apa?
Barang kali,
Apa?
Lelaki ini adalah ganti dari lelaki itu,
Aku mengernyit tak mengerti.
***
Kuturutkan
saja apa permintaan warga kampung. Termasuk lelaki itu yang sangat
senang dengan kesusahanku dan suamiku. Tak kupahamkan ritual pemangilan
dengan segala kemeyan dan mayang kelapa serta segala benda-benda yang
diminta Datuk dan dicarikan lelaki itu. Ritual itu dilakukan tepat
jelang tengah malam saat bulan naik jenjang. Saat tepat orang-orang
shalat malam tempat mengadu paling aman. Saat aku tak paham apa hal
sebab-musabab aku malah mengikut orang-orang ini yang aku sendiri tak
mengerti. Lantas, dimanakah Bakar? Bahkan sampai saat ini aku tak
melihatnya. Apa ia juga senang melihat suamiku hilang?
Ritualpun dimulai. Mulut Datuk mulai bergumam tak henti. Segala hantu dan jembalang dipanggilnya.
Hai hantu jembalang tanah...jembalang laut..jembalang hitam...jembalang putih..
Hai saudaraku yang berempat. Jibril, Mikail, Izrafil, Izrail
Minta tolong jagakan! Peliharakan! Jangan binasakan! Jangan Rusakkan!
Kami antara belukar dengan rimba
Di situ simpedan engkau
Di sinilah tempat tanah kita berjanji dan merangkak berkat tawar!
Laillahaillallah!!!!
Kembalikan anak cucu Adam!!! Kembalikan anak cucu Adam!!! Kembalikan anak cucu Adam!!!
Suara
Datuk makin tinggi. Bulu kudukku meremang. Dan Angin tiba-tiba menjadi
beliung. Segala benda-benda digulung. Kemeyan terkulum. Mayang kelapa
melambung-lambung. Tak kupahamkan apa yang terjadi. Apapun nanti yang
terpenting suamiku kembali. Namun, tiba-tiba halimun tebal membalut
membuat semua kalut. Halimun itu meninggi dan menukik, menuju pada satu
orang, laki-laki itu! Halimun itu terus melaju menuju laki-laki itu.
Dalam pada itu, ia berlari macam tak jejak tanah. Kemeyan mengepul, asap
bergumul, amsal mengulum laki-laki itu. Lantas, tak terlihat lagi
raganya yang tersisa hanya halimun tebal nun hingga ke pulau seberang
sana.
Tepat saat halimun itu menyusut lenyap, tepat saat semua
ketar-ketir, ketakutan memaku pada penglihatan, tepat saat Datuk
berhenti memantra, tepat saat itu pula kulihat bakar datang. Namun, di
belakangnya ada seseorang. Kulihat ia dengan segala kekuatan. Segala
daya sampai aku tak tahan. Dengan langkah tertatih. Kubelai lembut
wajahnya yang sendu.
Kemana saja kau suamiku? Kataku lirih. Bakar melirikku iba. Dan semua hening bergeming.
Begitulah
aku menjemputnya pulang. Hampir setiap malam ia datang dalam mimpiku
sambil melambaikan tangan. Namun, mukanya sendu seperti sedang terjadi
sesuatu. Tak sampai hati rasanya. Lalu, Kulewati sisa pohon lapuk di
atas sungai yang tidak terlalap api. Kutembus alam mereka dengan lalu
dibawah pohon lapuk itu. Tak kusangka ia tersesat kian jauh bahkan sudah
beranak pinak dengan bunian itu. Namun, ada satu yang tak kumengerti.
Saat mereka melihatku, mereka bahkan tak mengusikku sedikitpun. Mereka
menjamuku layaknya tamu. Lantas, keganjilanku terjawab saat peri bunian
itu berucap, lelaki ini adalah ganti dari lelaki itu,
Lantas, Datuk turut berucap seraya mengusap janggutnya.
Konon,
dulunya ia mempunyai sema dengan orang bunian. Jika ia mengadakan acara
semacamola, maka orang bunian akan turut serta membantu memberikan
bahan pangan dan segala yang diinginkan dengan perjanjian, yang dipinjam
harus kembali dan mentah harus dikembalikan jadi. Semua berlangsung
lancar sampai tiba masa, ia lupa memberikan hasil makanan dari bahan
pangan orang bunian.
Semenjak itulah segala acara, usaha dia
lamat-lamat menyusut dan ia jatuh bangkrut. Dalam pada itu, saat ia tahu
suamimu terkurung di hutan larangan ia sengaja menukar insannya dengan
suamimu untuk dijadikan suami peri bunian, agar ia bisa melanjutkan
usahanya.
Kutelisik baik-baik Bakar dan Datuk berkisah. Begitu
rupanya aku mengerti sekarang. Patutlah lelaki itu selalu terlihat
senang saat suamiku hilang. Saat hutan larangan terbakar. Ternyata ia
adalah dalang dari segala dalang.
Lantas, apa yang terjadi dengan ia Datuk? Selidikku.
Entahlah, barang kali ia sudah menuai benih yang ia semai, menikahi wanita bunian!
Aku bergidik ngeri.***
*Banyak kisah dari tetuah

Tidak ada komentar:
Posting Komentar