Selasa, 02 Mei 2017

REMBULAN DI ATAS OMBAK

Laut bersih tak berombak disinari cahaya. Di atasnya lautan biru yang terbalik. Menghampar bintang-bintang kelap-kelip bertaburan yang muncul berarakan di tengah langit alam semesta yang gelap. Senyuman manja rembulan di hadapan penghuni bumi. Sorotan cahayanya menembus jantung malam. Menyelinap di sela-sela rimbun dedaunan dan menyapa hangat rerumputan dan ilalang. Membayang dalam gelap, cermin diri di atas riak. Berayun-ayun lambat tubuh mungil itu mengikuti gerak ayun rakit tempatnya berdiri. Mengekor kepergian wanita yang perlahan mengecil di ujung mata. Hanya tampak dari kejauhan dayung yang di kayuhnya turun naik melawan arah. Beginilah setiap malam buta wanita tua itu meninggalkan putranya yang berumur 5 tahun di peraduan bersama adik perempuannya yang balita. Sang pemimpin keluarga telah lebih dulu di panggil sang pencipta. Wanita berkerudung hitam pun telah sampai pada tujuan. Setelah berlawan arah dengan sekonconya.

“ Kau ke hulu, aku ke hilir.” Pinta mak Nah sebelum berpisah tadi.
Wanita itupun telah berkayuh mencari kumpulan gerombolan ikan-ikan incaran.
Angin pagi yang bertiup sepoi-sepoi telah memulai suatu gerakan ketika suara adzan harmonis terdengar dari setiap masjid dan musollah. Dengan bebas menebar gemanya kemana-mana seakan gema itu mencapai cakrawala. Sosok wanita sedang membungkuk dan bersujud dalam ambiquitas fajar. Sang malam telah hilang di sela-sela desa lenyap melewati laut. Matahari menyeruak menembus dinding dengan sorotan cahayanya yang tajam dan menusuk. Sang pagi dengan hembusan lembut anginnya telah membangkitkan semangat semua orang.
            “Bu, Alif mau sekolah.” pintanya yang polos menghentikan gerak tangan Ima  menyendok nasi. Kulit keriputnya seakan terbakar kebimbangan mendalam.
            “Iya, Insyallah Alif akan sekolah.”
            “Benar bu?” yang di jawab anggukan.
Beban bertambah di mata cekungnya. Garis-garis getir kehidupan terlukis jelas di wajahanya.
            “Kenapa kau tidak ke kota saja, ikut keluarga suamimu!”
Wanita bersongkok itu sibuk memindahkan ikan salai, ikan yang sudah di asapkan ke dalam bakul, tempat khusus yang terbuat dari anyaman.
            “Tak payalah, Nah. Sejak awal bang Imran sudah bilang, kalau yang menikah dengan aku dia seorang bukan keluarganya”. Matanya menerawang membayang masa lalu sambil terus mengayun Ani yang terlelap dalam buaian.
            “Ya, tapi kalau macam ini terus, bisa-bisa Alif tak sekolah Ma”. Mak Nah mengingatkan. Ima mendesah panjang berharap ada sedikit berat yang ikut lepas dari dadanya.
            “Cobalah, kau pikir baik-baik! Aku balek dulu,” Pesannya sebelum berlalu. Ima menatap Alif yang sedang bermain kelereng bersama teman-temannya. Wajah sumringah, lonjak kegirangan dan tawa menang darinya, membuat Ima ikut tersenyum melihat tingkahnya.
Andai dulu keluarga bang Imran bisa menerima aku, pasti alif sekarang sudah sekolah.
“Ibu......!!!”jerit kesakitan Alif menbagunkannya dari lamunan.
“Astagfirullah!”ucapnya ketika melihat luka akibat paku di kaki Alif. Dengan kalut Ima langsung membawa Alif pada Mantri setempat. Sambil terus berdo’a di tengah harap dan cemas selalu menjaga anaknya.
“Ibu, kalau kaki Alif tak bisa sembuh, nanti Alif tak bisa sekolah ya?”
“Tidak, sayang. Alif akan sembuh, kan sudah di obat”
“Bu, nanti kalau Alif sekolah Alif mau jadi dokter, biar Alif bisa obat orang sakit. Lepas tu, Alif nak bantu ibu dan adek”
Bulir hangat dan lembut mengalir dari matanya. Impian anaknya yang tulus membuat hati Ima semakin sayu.
            “Kau yakin nak melaut Ma?” tanya mak Nah sambil mengelus-elus kepala Alif yang terlelap.
            “Yakin Nah, aku harus pergi demi Alif.” jawab Ima di tengah kesibukannya mencari sesuatu di dalam lemari pakaian.
            “Tapi, tak risau kau tinggal budak  macam ni?”
            “Aku titip Alif dan Ani ya Nah,” seraya menyodorkan kotak hitam berukir di setiap sudutnya.
            “Aih....., apa pulak ni?”
            “Sesuatu yang bisa kau pakai untuk Alif dan Ani”
            “Kau ni, macam pergi lama je?” yang di jawab dengan senyum.
            “Ibu pergi ya, sayang.....Alif harus sehat, biar bisa sekolah, lepas tu jaga adek baik-baik.” Seraya mencium hangat kening putranya. Hal yang sama juga pada Ani yang terlelap dalam buai.
            “Kalau ku tengok, cuaca tak bagus lah Ma. Kau tunda dulu lah melaut!’
            “Aku harus pergi Nah”. Ucapnya di sela senyum sebelum berkayuh dan makin jauh hilang di bawah sinar rembulan. Tak seperti biasanya, kenapa malam ini, Ima pakai kerudung putih. Ada rasa aneh menggelayut di hati mak Nah.
Selang beberapa jam kemudian, tiba-tiba langit malam yang tadinya cerah menjadi hitam. Rembulan hilang di telan pekatnya malam. Bintang-bintang sembunyi di balik awan, seakan takut pada ombak yang lantang bersaut-sautan. Ima menatap langit malam, akan ada badai malam ini, pikirnya. Tepat setelah terlintas di benaknya, butir-butir hujan mulai turun dari langit mengguyur bumi. Petir dan kilat menyambar putih di tengah langit malam yang hitam. Hati ikut tersayat dan memekkan telinga.
            “Mak Nah, ibu mana?” Alif pun terjaga.
            “Ibu mu pergi sayang,” jawabnya sambil terus mendiamkan Ani yang menangis sejak hujan turun tadi.
            “Apa ibu akan baik-baik saja?”
            “Semoga saja nak.” jawabnya lirih sambil terus mendekap Ani.
            Embun pagi berjatuhan dari dedaunan. Rumput basah dan masih lembab. Dingin yang menusuk hinnga ke tulang, namun matahari belum juga datang. Jelang tengah hari. Tersiar kabar di kampung tetangga. Di temukan mayat wanita tua, mengapung di dekat rawa. Perahunya hancur tinggal serpihan puing-puing kekuatan. Mak Nah, makin miris. Dan makin yakin setelah datang utusan menyerahkan kerudung putih kusam.
            “Mak Nah, ibu kok belum balek?”
            “Ibumu pergi ke surga, nak” pilu mengiris menyayat luka yang menganga. Sulit di pungkiri bahwa Ima sahabatnya telah tiada.
            “Surga? Surga itu apa? Ibu tak ajak Alif?”
            “Surga itu indah........... sekali, ibu bilang Alif harus sekolah biar bisa jaga adek.”
            “Lama tak ibu pergi?”
            “Sampai besok ombak juga menjemput kita”. Matanya menerawang menatap malam kepiluan. Rembulan seakan pucat dan sakit. Hanya ada satu bintang yang bersinar terang, seterang Ima yang seakan menatap dari sana. Dari ombak yang membawanya, sampai kepada cahaya di atas cahaya. Rembulan di atas ombak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar