Laut
bersih tak berombak disinari cahaya. Di atasnya lautan biru yang terbalik.
Menghampar bintang-bintang kelap-kelip bertaburan yang muncul berarakan di
tengah langit alam semesta yang gelap. Senyuman manja rembulan di hadapan penghuni
bumi. Sorotan cahayanya menembus jantung malam. Menyelinap di sela-sela rimbun
dedaunan dan menyapa hangat rerumputan dan ilalang. Membayang dalam gelap,
cermin diri di atas riak. Berayun-ayun lambat tubuh mungil itu mengikuti gerak
ayun rakit tempatnya berdiri. Mengekor kepergian wanita yang perlahan mengecil
di ujung mata. Hanya tampak dari kejauhan dayung yang di kayuhnya turun naik
melawan arah. Beginilah setiap malam buta wanita tua itu meninggalkan putranya
yang berumur 5 tahun di peraduan bersama adik perempuannya yang balita. Sang
pemimpin keluarga telah lebih dulu di panggil sang pencipta. Wanita berkerudung
hitam pun telah sampai pada tujuan. Setelah berlawan arah dengan sekonconya.
“
Kau ke hulu, aku ke hilir.” Pinta mak Nah sebelum berpisah tadi.
Wanita
itupun telah berkayuh mencari kumpulan gerombolan ikan-ikan incaran.
Angin
pagi yang bertiup sepoi-sepoi telah memulai suatu gerakan ketika suara adzan
harmonis terdengar dari setiap masjid dan musollah. Dengan bebas menebar
gemanya kemana-mana seakan gema itu mencapai cakrawala. Sosok wanita sedang
membungkuk dan bersujud dalam ambiquitas fajar. Sang malam telah hilang di
sela-sela desa lenyap melewati laut. Matahari menyeruak menembus dinding dengan
sorotan cahayanya yang tajam dan menusuk. Sang pagi dengan hembusan lembut
anginnya telah membangkitkan semangat semua orang.
“Bu, Alif mau sekolah.” pintanya
yang polos menghentikan gerak tangan Ima menyendok nasi. Kulit keriputnya seakan
terbakar kebimbangan mendalam.
“Iya, Insyallah Alif akan sekolah.”
“Benar bu?” yang di jawab anggukan.
Beban
bertambah di mata cekungnya. Garis-garis getir kehidupan terlukis jelas di
wajahanya.
“Kenapa kau tidak ke kota saja, ikut
keluarga suamimu!”
Wanita
bersongkok itu sibuk memindahkan ikan salai, ikan yang sudah di asapkan ke
dalam bakul, tempat khusus yang terbuat dari anyaman.
“Tak payalah, Nah. Sejak awal bang Imran
sudah bilang, kalau yang menikah dengan aku dia seorang bukan keluarganya”.
Matanya menerawang membayang masa lalu sambil terus mengayun Ani yang terlelap
dalam buaian.
“Ya, tapi kalau macam ini terus,
bisa-bisa Alif tak sekolah Ma”. Mak Nah mengingatkan. Ima mendesah panjang
berharap ada sedikit berat yang ikut lepas dari dadanya.
“Cobalah, kau pikir baik-baik! Aku balek dulu,” Pesannya sebelum berlalu.
Ima menatap Alif yang sedang bermain kelereng bersama teman-temannya. Wajah
sumringah, lonjak kegirangan dan tawa menang darinya, membuat Ima ikut
tersenyum melihat tingkahnya.
Andai
dulu keluarga bang Imran bisa menerima aku, pasti alif sekarang sudah sekolah.
“Ibu......!!!”jerit
kesakitan Alif menbagunkannya dari lamunan.
“Astagfirullah!”ucapnya
ketika melihat luka akibat paku di kaki Alif. Dengan kalut Ima langsung membawa
Alif pada Mantri setempat. Sambil terus berdo’a di tengah harap dan cemas
selalu menjaga anaknya.
“Ibu,
kalau kaki Alif tak bisa sembuh, nanti Alif tak bisa sekolah ya?”
“Tidak,
sayang. Alif akan sembuh, kan sudah di obat”
“Bu,
nanti kalau Alif sekolah Alif mau jadi dokter, biar Alif bisa obat orang sakit.
Lepas tu, Alif nak bantu ibu dan
adek”
Bulir
hangat dan lembut mengalir dari matanya. Impian anaknya yang tulus membuat hati
Ima semakin sayu.
“Kau yakin nak melaut Ma?” tanya mak
Nah sambil mengelus-elus kepala Alif yang terlelap.
“Yakin Nah, aku harus pergi demi
Alif.” jawab Ima di tengah kesibukannya mencari sesuatu di dalam lemari pakaian.
“Tapi, tak risau kau tinggal budak macam
ni?”
“Aku titip Alif dan Ani ya Nah,”
seraya menyodorkan kotak hitam berukir di setiap sudutnya.
“Aih....., apa pulak ni?”
“Sesuatu yang bisa kau pakai untuk
Alif dan Ani”
“Kau ni, macam pergi lama je?” yang
di jawab dengan senyum.
“Ibu pergi ya, sayang.....Alif harus
sehat, biar bisa sekolah, lepas tu jaga adek baik-baik.” Seraya mencium hangat
kening putranya. Hal yang sama juga pada Ani yang terlelap dalam buai.
“Kalau ku tengok, cuaca tak bagus
lah Ma. Kau tunda dulu lah melaut!’
“Aku harus pergi Nah”. Ucapnya di
sela senyum sebelum berkayuh dan makin jauh hilang di bawah sinar rembulan. Tak
seperti biasanya, kenapa malam ini, Ima pakai kerudung putih. Ada rasa aneh
menggelayut di hati mak Nah.
Selang
beberapa jam kemudian, tiba-tiba langit malam yang tadinya cerah menjadi hitam.
Rembulan hilang di telan pekatnya malam. Bintang-bintang sembunyi di balik awan,
seakan takut pada ombak yang lantang bersaut-sautan. Ima menatap langit malam,
akan ada badai malam ini, pikirnya. Tepat setelah terlintas di benaknya,
butir-butir hujan mulai turun dari langit mengguyur bumi. Petir dan kilat
menyambar putih di tengah langit malam yang hitam. Hati ikut tersayat dan memekkan
telinga.
“Mak Nah, ibu mana?” Alif pun
terjaga.
“Ibu mu pergi sayang,” jawabnya
sambil terus mendiamkan Ani yang menangis sejak hujan turun tadi.
“Apa ibu akan baik-baik saja?”
“Semoga saja nak.” jawabnya lirih
sambil terus mendekap Ani.
Embun pagi berjatuhan dari dedaunan.
Rumput basah dan masih lembab. Dingin yang menusuk hinnga ke tulang, namun
matahari belum juga datang. Jelang tengah hari. Tersiar kabar di kampung
tetangga. Di temukan mayat wanita tua, mengapung di dekat rawa. Perahunya
hancur tinggal serpihan puing-puing kekuatan. Mak Nah, makin miris. Dan makin
yakin setelah datang utusan menyerahkan kerudung putih kusam.
“Mak Nah, ibu kok belum balek?”
“Ibumu pergi ke surga, nak” pilu
mengiris menyayat luka yang menganga. Sulit di pungkiri bahwa Ima sahabatnya
telah tiada.
“Surga? Surga itu apa? Ibu tak ajak
Alif?”
“Surga itu indah........... sekali,
ibu bilang Alif harus sekolah biar bisa jaga adek.”
“Lama tak ibu pergi?”
“Sampai besok ombak juga menjemput
kita”. Matanya menerawang menatap malam kepiluan. Rembulan seakan pucat dan
sakit. Hanya ada satu bintang yang bersinar terang, seterang Ima yang seakan
menatap dari sana. Dari ombak yang membawanya, sampai kepada cahaya di atas
cahaya. Rembulan di atas ombak.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar