Acap kali. Sering kutemukan dia
mengintip dari kaca nako berdebu sekolah kami. Aku tidak tahu siapa namanya.
Darimana datangnya. Dimana tingggalnya. Atau siapa orang tuanya. Yang aku tahu.
Ia terus mengintip setiap pelajaran sekolah. Saat matahari waktu dhuha. Sempat,
waktu itu. Aku sengaja mencuri-curi pandang padanya. Ketika guru mencorat-coret
di papan tulis. Aku sesekali meliriknya. Rambutnya kusut. Wajahnya hitam
mengkilat. Dan sepintas. Aku bisa memprediksikan. Ia sangat kumal. Dan mungkin juga
bau. Tidak tahu apa yang dilakukannya di luar sana. Entah hanya sekedar
mengintip guna mencuri ilmu. Atau hal yang lain. Dan jika ketahuan penjaga. Ia
akan lari terbirit-birit melompati selokan dan masuk ke semak-semak. Lalu
hilang di balik rimbun dedaunan yang bergoyang. Di belakang sekolah.
Aku mendapatkannya. Usai sekolah.
Aku sengaja tidak langsung pulang ke rumah. Gadis kumal dan lusuh yang sering
mengintip di jendela nako berdebu sekolahku. Ia adalah pemulung yang sering
berkeliaran di gang dekat sekolah kami. Entah berapa umurnya. Yang jelas. Tidak
jauh beda denganku. Gadis berambut ikal itu sering memunguti kardus-kardus
bekas. Atau apa saja yang bisa dijadikan uang. Siang ini aku mengutitnya.
Dengan kaki batang lidi tanpa alas hanya berteman kerikil. Dengan tubuh
kecilnya. Ia sanggup mendorong gerobak yang besarnya dua kali lipat darinya.
Mengapa ia begitu kuat? Apa sebegitu terjalnyakah kehidupan yang ia lalui?
Masih menjaga jarak. Aku terus
melangkah di belakangnya. Memperhatikan apapun yang ia lakukan. Melihat ia bisa
tersenyum ramah pada setiap orang yang dijumpainya. Atau raut mukanya yang
seperti tak kenal lelah harus berjalan kaki sembari mendorong gerobak dengan
jarak yang sangat jauh. Aku tidak punya alasan yang kuat mengapa aku mengikutinya.
Aku hanya ingin tahu. Mengapa dan untuk apa ia mengintip di balik kaca jendela
sekolahku. Apa hanya itu yang bisa ia lakukan? Mengintip seperti maling yang
ketakutan. Bukankah belajar adalah salah satu haknya yang harus dipenuhi orang
tuanya.
Matahari menyengat. Ada pohon akasia
yang baru kami lewati. Di di depan juga ada warung kecil. Pasti asik sekali.
Membeli minuman segar di sana lalu berteduh di bawah pohon akasia ini.
Tiba-tiba ia berhenti. Aku kaget. Ia lalu berbalik menatapku tajam. Sepertinya
ia tahu gelagatku sedari tadi.
“Apa
yang kau lakukan? Mengapa kau mengikutiku?” hardiknya.
Aku
bingung. Takut ia akan melemparku dengan koleksian barang-barang bekasnya. Atau
menimpuk kepalaku dengan batu jalanan.
“Aku
hanya ingin berteman denganmu,” sahutku. Ia diam. Lalu kembali berbalik
meneruskan langkahnya dan mendorng gerobaknya. Apa diamnya ini bertanda ‘iya?’
“Siapa
namamu?”
“Linggar,”
jawabnya sekenanya.
“Namaku
Asri,” sahutku. Ia tak ambil peduli. Lantas, Aku asik saja menceritakan siapa aku.
Apa makanan yang aku sukai. Semuanya. Walau ia hanya menjawab satu-satu. Dan
sesekali tersenyum simpul mendengar celotehanku. Ya. Sejak hari itu aku memulai
persahabatanku dengannya.
Aku sering mengajak Linggar ke
rumah. Bermain bersama. Belajar bersama. Tidurpun bersama. Syukurlah aku
memiliki Ibu yang pengertian dan menyayangiku. Tidak seperti Ibunya Linggar
yang sengaja meninggalkan Ayahnya setelah di fonis stroke. Linggar harus
berjuang hidup mencari uang untuk ia dan ayahnya. Pendidikan yang sempat di cicipinya. Hanya sampai kelas tiga
SD. Selanjutnya, ia harus melupakannya. Aku pernah mengajaknya ke sekolah.
Tapi, ia tidak pernah mau.
“Itu
bukan tempatku,” begitu terus yang dikatakannya. Ia lebih senang mengintip di
balik jendela sekolah. Sampai pada suatu ketika. Peristiwa naas itu terjadi.
Siang itu aku sengaja menunggu
Linggar di tempat pertama kali kami berkenalan. Aku ingin memberikannya
selembar brosur. Aku sangat berharap. Kertas ini akan membawa Linggar pada
kesempatan. Kesempatan untuk melanjutkan mimpinya yang sempat tertunda. Ini
adalah brosur lomba karya tulis. Dan pemenangnya akan mendapatkan beasiswa.
Linggar sangat pintar. Meski ia tak duduk di bangku sekolahan lagi. Tapi, ia
suka melahab bacaan apapun yang ditemukannya. Koran bekas, majalah bekas.
Bahkan, kertas pembungkus cabepun di bacanya.
Matahari makin di atas kepala. Aku
masih menunggu Linggar di balik pohon akasia. Melihat pahatan nama aku dan
Linggar di sana. Tak seperti biasanya. Jalanan di sini begitu sunyi. Hanya
beberapa kendaraan yang sesekali melintas. Kebun ubi. Ilalang yang saling
bersentuhan-bergoyang. Dan warung tempat biasa kami membeli minuman tidak buka.
Sementara jarak rumah yang lain. Jauh di ujung mata sana. Aku tak ambil pusing.
Toh, sebentar lagi Linggar akan lewat sini. selang beberapa saat. Linggar
lewat. Aku bermaksud ingin mengagetkannya. Aku sengaja bersembunyi di balik
pohon akasia ini dan memberinya kejutan.
Ia pasti akan kaget setengah mati. Dan akan mencubitku habis-habisan.
Seperti biasa. Linggar dengan
semangat mendorong gerobak. Tak peduli panas terik. Atau hujan badai sekalipun.
Ia akan tetap begitu demi ayahnya. Jalanan masih sepi. Hanya beberapa kendaraan
yang melintas. Baru aku akan melangkah mendekati Linggar. Sebuah mobil
berhenti. Aku mengurungkan niatku. Ada dua laki-laki tambun keluar dari mobil.
Laki-laki yang satu berkacamata yang berwarna senada dengan celana dan jaket
hitamnya. Laki-laki yang satunya lagi. Juga berpakaian dengan warna yang sama.
Tapi, ia hanya memakai kaos pendek. Sedangkan setengah lengan sebelah kirinya
di penuhi dengan ukiran tato. Nyaliku maki menciut. Untuk apa orang-orang ini
mendekati Linggar? Pikirku. Ah! Mungkin mereka hanya ingin bertanya alamat.
Alihku.
Aku tidak tahu apa yang dibicarakan
mereka. Namun, pria yang berjaket tadi pindah ke belakang Linggar. Ia,
mengeluarkan sebuah sapu tangan. Lalu. Membekapkannya pada mulut Linggar.
Linggar jatuh pingsan. Aku hampir berteriak menyaksiakannya. Namun, kuat-kuat
kututup mulutku. Aku tidak mungkin bisa menolong Linggar yang tak sadarkan
diri. Aku tidak bisa mengajaknya berlari sekencang-kencangnya. Dan orang-orang
itu juga tidak akan memberi ampun padaku. Bisa jadi aku adalah target
selanjutnya yang tanpa di sengaja. Lalu. Linggar di boyong ke dalam mobil.
Gerobak di dorong ke dalam semak. Dan Linggar hilang bersama mobil itu.
Bodohnya aku. Aku tidak memperhatikan nomor polisi kendaraan mereka. Aku
kehilangan jejak. Aku hanya bisa berteriak menangisi Linggar yang telah pergi.
Entah kemana penculik itu akan membawanya. Entah apa yang akan dilakukan
mereka. Mungkin saja, mereka akan menjual Linggar keluar negri. atau hal lain
yang lebih mengerikan lagi. Aku tidak mau memikirkannya. Tidak!
“Linggar…maaafkan aku!!!” teriakku
yang hanya di jawab sunyi.
Seminggu sudah. Belum juga ada
tanda-tanda polisi akan menemukan Linggar. Keadaan Ayahnya pun kian memburuk.
Sedangkan aku, selalu hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah. Mengapa hari
itu aku tidak bisa menolong Linggar. Aku melongo menatap guru di depan kelas.
Tak satupun pelajaran yang singgah menghampiri otakku. Sesekali. Kutatap kaca
nako berdebu sekolah. Berharap. Gadis kecil yang kumal itu mengitip dari sana.
Rambut kusutnya. Wajah hitam mengkilatnya. Entah darimana datangnya. Yang aku
tahu. Ia terus mengintip setiap pelajaran sekolah. Saat matahari waktu dhuha.
Tidak tahu apa yang dilakukannya di luar sana. Entah hanya sekedar mengintip
guna mencuri ilmu. Atau hal yang lain. Dan jika ketahuan penjaga. Ia akan lari
terbirit-birit melompati selokan dan masuk ke semak-semak. Lalu hilang di balik
rimbun dedaunan yang bergoyang. Di belakang sekolah.*
*Teruntuk seorang Adik yang berjuang
demi Ayahnya…
Jatni Azna (J_an), mahasisiwa Ilmu Komunikasi
Broadcasting Universitas Islam Negri, UIN SUSKA RIAU. Bergiat di Forum Lingkar
Pena (FLP). Dan aktif di kegiatan menulis lainnya. Sedang asik dengan hobinya
dalam dunia perfilman dan fotografi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar